NAMA :
RAINDRA EKY YUWONO
NPM :
17213201
KELAS : 4EA22
DOSEN : BONAR S PANJAITAN
TUGAS KE-1
KORUPSI
Singkatan 'KKN' adalah salah satu singkatan yang akrab
bagi masyarakat Indonesia. Sering kalau ada protes anti-pemerintah, singkatan
KKN ini didengar dan diteriakkan oleh para demonstran atau ditulis di atas
spanduk-spanduk. KKN ini mengacu ke korupsi, kolusi dan nepotisme dan - yang
banyak mencemaskan mayoritas penduduk Indonesia - telah menjadi bagian
intrinsik atau sudah mendarah-daging di pemerintah Indonesia, mungkin mencapai
puncaknya selama rezim Orde
Baru Presiden Suharto (1965-1998). Masalah korupsi politik di
Indonesia terus menjadi berita utama (headline) hampir setiap hari di media
Indonesia dan menimbulkan banyak perdebatan panas dan diskusi sengit. Di
kalangan akademik para cendekiawan telah secara terus-menerus mencari jawaban
atas pertanyaan apakah korupsi ini sudah memiliki akarnya di masyarakat
tradisional pra-kolonial,
zaman
penjajahan Belanda, pendudukan Jepang yang relatif singkat
(1942-1945) atau pemerintah Indonesia yang merdeka berikutnya. Meskipun
demikian, jawaban tegas belum ditemukan. Untuk sementara harus diterima bahwa
korupsi terjadi dalam domain politik, hukum dan korporasi di Indonesia (meskipun
ada beberapa tanda, yang dibahas di bawah, yang mengarah ke perbaikan situasi
ini).
Kerangka
historis korupsi di Indonesia
Meskipun terdapat banyak contoh korupsi dalam sejarah
sebelumnya di Indonesia, kita ambil sebagai titik awal kita rezim Orde Baru
Presiden Suharto (1965-1998), yang ditandai dengan pertumbuhan
ekonomi mengesankan yang cepat dan berkelanjutan (dengan Produk
Nasional Bruto rata-rata 6.7 persen per tahun antara tahun 1965-1996), tapi
juga terkenal karena sifat korupnya. Suharto memanfaatkan sistem patronase
untuk mendapatkan loyalitas bawahannya, anggota elit nasional dan kritikus
terkemuka. Dalam hal pertukaran peluang bisnis atau posisi politik Suharto bisa
mengandalkan dukungan mereka. Dengan Angkatan Bersenjata (termasuk aparat
intelijen) dan pendapatan sumber daya nasional sangat besar (yang berasal dari
produksi minyak pada 1970-an) yang dia gunakan, dia meraih kedudukan puncak dalam
sistem politik dan ekonomi nasional, menyerupai kekuatan patrimonial penguasa
tradisional di masa pra-kolonial dulu.
Dalam membuat kebijakan ekonomi, Suharto mengandalkan
saran dan dukungan dari sekelompok kecil orang kepercayaan di sekitarnya.
Kelompok ini terdiri dari tiga kategori: para teknokrat yang dilatih di Amerika
Serikat (USA-trained technocrats), nasionalis ekonomi (yang mendukung
gagasan peranan besar pemerintah dalam perekonomian) dan kroni kapitalis (yang
terdiri dari anggota keluarga dan beberapa konglomerat etnis Cina kaya). Pada
saat itu, semua kategori ini dituduh korup namun sebagian besar penekanan
mengarah ke lingkaran kecil kroni kapitalis (terutama anak-anak Suharto) yang
merupakan penerima manfaat utama dari skema privatisasi negara - maka
mereka tidak disukai oleh pengusaha nasional dan masyarakat - dan sering
menjalankan monopoli bisnis besar yang beroperasi dengan sedikit pengawasan
atau pemantauan.
Salah satu karakteristik penting korupsi selama Orde
Baru Suharto adalah korupsi tersebut agak terpusat dan dapat diprediksi.
Investor dan pengusaha bisa memprediksi jumlah uang yang harus mereka sisihkan
untuk biaya-biaya 'tambahan' dan mereka mengetahui mana orang-orang yang akan
perlu mereka suap. Tapi juga ada taktik untuk memasukkan kroni Suharto
dalam kegiatan bisnis untuk mengurangi ketidakpastian yang disebabkan oleh
birokrasi yang amat ruwet. Pola yang sama ini ada di tingkat lokal di mana
gubernur dan komandan militer setempat menikmati hak istimewa yang sama seperti
di pusat namun selalu sadar bisa kena hukuman dari pusat jika mereka
mendorongnya (sogokan) terlalu jauh. Dengan era baru Reformasi,
yang dimulai setelah jatuhnya Suharto pada tahun 1998, situasi ini berubah.
Desentralisasi
Korupsi Indonesia
Situasi ini berubah dengan drastis waktu setelah
lengsernya Suharto pada 1998 program desentralisasi daerah yang ambisius
dimulai pada tahun 2001 yang meramalkan pemindahan otonomi administrasi dari
Jakarta ke kabupaten (bukan ke provinsi). Program baru ini sejalan dengan
tuntutan masyarakat tetapi memiliki efek samping negatif pada pola distribusi
korupsi. Penyuapan tidak lagi 'dikoordinasikan' seperti yang telah terjadi di
masa lalu tapi menjadi terpecah-pecah dan tidak jelas. Desentralisasi berarti
bahwa pemerintah daerah mulai membuat peraturan daerah baru (sering tidak
dirancang dengan ketat) yang memungkinkan para pejabat lainnya dari berbagai
tingkat pemerintah dan lembaga lainnya untuk berbaur dan meminta tambahan
keuangan.
Menyadari kebutuhan mendesak untuk mengatasi korupsi
(karena merugikan investasi dan umumnya mendorong adanya ketidakadilan
terus-menerus dalam masyarakat), sebuah badan pemerintah baru didirikan pada
tahun 2003. Lembaga pemerintah ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (disingkat
KPK), ditugaskan untuk membebaskan Indonesia dari korupsi dengan menyelidiki
dan mengusut kasus-kasus korupsi serta memantau tata kelola negara (yang
menerima kekuasaan yang luas).
Namun, opini-opini mengenai prestasi KPK masih
diperdebatkan. Para pengkritik menekankan bahwa KPK lebih fokus untuk menangani
tokoh profil yang lebih rendah (tokoh kecil dan tidak penting), meskipun selama
beberapa tahun terakhir, terutama menjelang akhirnya pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono, ada beberapa kasus tokoh profil tinggi seperti menteri,
pejabat kepolisian berpangkat tinggi, hakim dan bendahara partai dari Partai
Demokrat-nya Yudhoyono yang telah diciduk. Sebagian keberhasilan dan keberanian
KPK ini telah memicu perlawanan - sebagian besar dari orang-orang yang pernah
diusut atau diinterogasi - mengklaim bahwa KPK sendiri adalah lembaga yang
korup. Dalam beberapa tahun terakhir sejumlah skandal telah muncul di mana
anggota KPK - konon - dijebak oleh petugas polisi senior dan ditangkap untuk
melemahkan kewenangan KPK.
SUMBER:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar